Sertifikat TORA Datang Kembali

Banyuwangi, Aktualrakyat.com – Perhutanan sosial yang telah diusung presiden Joko Widodo sosok rimbawan yang dikenal (dicitrakan) merakyat ini telah memenuhi komitmennya di akhir masa jabatannya. Melalui Kementerian Lingkungan & Kehutanan (KLHK) pada periode 2015- 2019 menargetkan 12,7 juta ha kawasan hutan dikelola oleh masyarakat. Momentum yang ditandai dengan penyerahan dan pembagian sertifikat Tanah Obyek Reforma Agraria( TORA ) ini layak diapresiasi sebagai upaya menguatnya keberpihakan pada keadilan dan kesejahteraan sosial. Semoga tidak lagi sebagai paket politik pendamai atau fatamorgana penawar riak-riak massa atas kepemimpinan dinasti berikutnya.

Kebijakan pemerintah melalui Peraturan Menteri LHK No.83/2016 mendefinisikan Perhutanan Sosial sebagai sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukumadat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan pengelolaan/pemanfaatan kawasan hutan, diperlukan kegiatan perhutanan sosial melalui upaya pemberian akses legal kepada masyarakat setempat berupa pengelolaan Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan.

Perhutanan Sosial menjadi Program Strategis Nasional dalam rangka Ekonomi Pemerataan (Ekonomi Keadilan) untuk kesenjangan distribusi pemanfaatan sumber daya hutan. Sebagai program strategis nasional Perhutanan Sosial bertujuan untuk berkontribusi dalam mengurangi pengangguran dan kemiskinan, terutama bagi masyarakat yang tinggal disekitar kawasan hutan. Oleh karena itu pemberian akses kelola Perhutanan Sosial harus aman dan tepat sasaran, dimana masyarakat penerima program ini memiliki kriteria diantaranya masyarakat miskin, berlahan sempit/tidak memiliki lahan dan tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan.

Ada lima skema Perhutanan Sosial yaitu Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Kemitraan Kehutanan, dan Hutan Adat, dengan terminology akses legalnya yaitu Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD), Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm), Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR), Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin-KK), Ijin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS), dan Pengakuan dan Perlindungan Hutan Adat.

Akses legal perhutanan social memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dalam mengelola hutan selama 35 tahun. Kesinambungan program Perhutanan Sosial dari hulu sampai hilir sangat dibutuhkan untuk terbangunnya kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan. Perhutanan Sosial pun menjadi solusi dalam penyelsaian konflik dan kemiskinan. Pemerintah memberikan akses legal kepada masyarakat di dalam dan di sekitar hutan untuk mengelola sumber daya hutan dalam lima skema pengelolaan, yaitu hutan kemasyarakatan (Hkm), hutan desa (HD), hutan tanaman rakyat (HTR), kemitraan, serta hutan adat.

Beragam skema tersebut, pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat dapat dilakukan secara legal dan mendukung kepastian pengelolaan dalam jangka panjang, yang menjadi salah satu prinsip pengelolaan hutan lestari. Wacana paradigma social forestry (perhutanan sosial) di Indonesia muncul sebagai wujud “perlawanan” terhadap pemerintah (orde baru) yang saat itu mengesampingkan keberadaan masyarakat yang hidup di dalam maupun sekitar hutan dan cenderung berpihak kepada pemodal (asing & dalam negeri) untuk mengelola (mengeksploitasi) hutan dengan dalih pertumbuhan ekonomi.

Niatan baik tersebut masih membutuhkan perjuangan. Tantangan kebijakan program perhutanan sosial dihadapkan pada kebijakan UU CK yang menyelipkan pasal 29A pada UU Kehutanan yang mengatur mengenai perhutanan sosial. Sebelumnya, ketentuan mengenai perhutanan sosial tidak ada dalam UU Kehutanan, melainkan tersebar dalam peraturan pemerintah dan terkodifikasi di Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P. 83/MenLHK/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. Tentunya, ini merupakan hal baik karena program perhutanan sosial menjadi arus utama dan semoga mendapatkan posisi yang lebih kuat dalam penganggaran. Namun, pada peraturan-peraturan perhutanan sosial sebelumnya subjek pemohon perhutanan sosial terbatas pada petani atau kelompok tani atau koperasi tani/desa. Pemohon perseorangan ada sebagai pemohon Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat/IUPHHK-HTR, tetapi terbatas pada perseorangan yang memiliki pendidikan kehutanan atau bidang ilmu lainnya yang pernah sebagai pendamping atau penyuluh yang pernah bekerja di bidang kehutanan dengan membentuk kelompok atau koperasi bersama masyarakat setempat.

UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 29A : 1. Pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 28 dapat dilakukan kegiatan Perhutanan sosial. 2. Perhutanan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada: a. perseorangan; b. kelompok tani hutan; dan c. koperasi.

Pasal 29A ini menimbulkan setidaknya dua polemik. Pertama, unsur kegiatan perhutanan sosial tidak dijelaskan. Sementara, pasal ini akan berpengaruh pada pengaturan perhutanan sosial yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pengelolaan/pemanfaatan kawasan hutan bagi masyarakat. Kedua, terbukanya peluang perseorangan sebagai pemohon perhutanan sosial dapat membuka peluang percaloan dan melanggengkan ketimpangan pengelolaan kawasan hutan. Sementara, posisi masyarakat adat tidak terlihat dalam UU Kehutanan tersebut.

Pengingat penting bahwa salah satu tujuan utama Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) adalah menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi rakyat dengan cara memperbaiki iklim investasi di Negara. sektor kehutanan menjadi salah satu sektor yang diubah dalam UU CK. Sejumlah pasal Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) direvisi. Revisi dilakukan karena sektor kehutanan masih dinilai sebagai sektor yang menghasilkan, namun memiliki persyaratan perizinan yang rumit. Sehingga, penyederhanaan birokrasi diperlukan untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja baru di sektor ini.

Terbitnya UU CK dan peraturan turunannya telah mengubah beberapa pasal pada UU Kehutanan salah satunya adalah pengarusutamaan perhutanan sosial. Perubahan ketentuan UU Kehutanan dalam UU CK tersebut diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi penanggulangan kemiskinan masyarakat kawasan hutan, tidak justru melanggengkan ketimpangan pemanfaatan hasil hutan antara masyarakat tradisional dan pengusaha besar, serta meminggirkan masyarakat adat.

Penulis : Dr. Emi Hidayati, S.Pd., M.Si (Ketua Pusat Pengabdian Masyarakat IAI Ibrahimy Genteng Banyuwangi)

 

 

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Related Posts